Selasa, 28 Agustus 2012

ada apa dengan sekolah-sekolah di ASIA ?


Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kepribadian tidak hanya berasal dari lingkungan budaya pada umumnya, melainkan dapat juga datang dari lingkungan sekolah.
majalah TIME, 15 april 2002, misalnya melaporkan kasus berikut (yang kemudian dikenal dengan kasus KOBE):

Kobe adalah sebuah kota di jepang yang tenang dan tradisional. setiap pagi dan petang karyawan dan karyawati serta pelajar-pelajar sekolah pergi dan pulang ke kantor dan sekolah masing-masing, di lampu lalu lintas pengemudi mengurangi kecepatannya ketika lampu kuning menyala (bukan justru mempercepatnya), dan seterusnya. pokoknya tidak ada yang menyangka bahwa di tengah masyarakat yang tradisional dan disiplin itu, terpendam masalah yang besar.

tetapi pada suatu hari, di tahun 1997, ketenangan itu terusik. seorang anak laki-laki berusia 14 tahun diskors dari sekolah karena berkelahi. Untuk mengisi waktunya selama tidak ke sekolah ia menyiksa kucing-kucing dan mengumpulkan berbagai pisau. pada suatu hari, ia mengajak kawan sekolahnya yang berusia 11 tahun untuk bermain ke hutan yang sepi. di situ kawan itu dibunuh dan setelah dipotong kepalanya diletakkan di depan gerbang sekolah, dan dimulut kepala tanpa badan itu diselipkan secarik kertas bertuliskan: "INI ADALAH BALAS DENDAM PADA SISITEM SEKOLAH YANG KELEWAT MEMAKSA DAN MASYARAKAT YANG MENCIPTAKANNYA".

dua tahun setelah itu kasus kobe itu, seorang remaja membunuh seorang anak berusia 7 tahun di halaman sekolahnya, setahun kemudian seorang remaja berusia 17 tahun memukuli setiap orang yang lewat dengan pemukul baseball di sebuah pusat keramaian di tokyo.kasusu-kasus serupa juga terjadi di korea selatan dan hongkong.

di Indonesia sendiri , salah satu kasus terkenal adalah seorang pelajar SMU di Medan bernama rizal yang membunuh ayah,ibu dan tiga saudara kandungnya, setelah ia dimarahi oleh ayahnya (seorang saudara lainnya selamat, karena sedang diluar kota). selain itu, diduga ada pengaruh penyalahgunaan obat, ternyata rizal adalah anak bungsu dari keluarga yang semuanya sarjana (ayahnya dokter, kakak-kakaknya dokter dan sarjana lain), dan rizal juga diharapkan untuk menjadi sarjana sehingga diduga bahwa rizal menjadi tertekan karenanya.

stres mental seperti itu, menurut laporan majalh TIME tersebut disebabkan karena sistem pendidikan di Asia sangat mengutamakan prestasi sekolah, khususnya dalam bidang matematika dan ilmu pasti (IPA) sebagai satu-satunya tolak ukur prestasi seseorang (sejak TK sampai UNIVERSITAS).

tidak mengherankan bahwa setiap orangtua berusaha memacu anaknya untuk menjadi juara kelas dan setiap anak yang tidak sukses dalam pelajaran matematika dan IPA dianggap sebagai pecundang. dampaknya adalah bahwa banyak anak (khususnya remaja) yang putus asa, karena tidak pernah diperhitungkan prestasinya.(walaupun mungkin ia olahragawan atau seniman yang baik) sehingga bisa menimbulkan sikap acuh tak acuh atau bahkan agresif kepada orang lain (seperti contoh-contohdi atas) atau kepada diri sendiri (angka bunuh diri pun relatif tinggi di negara-negara Asia).

sarwono, W sarlito.(2012). psikologi remaja. jakarta: PT. raja grafindo persada.