Jumat, 28 Desember 2012

kepala di kaki

mati!
tintaku mati tak ada yang menyentuh!
mati! 
kertasku mati tak ada yang menyentuh!
tak ada yang menyentuh, seakan mati tapi hidup.
berjalan melihat, tapi seakan telah terbang di bawah angin.
telah bersih, tak tersisa.
coba tanyakan, tapi tak ada jawaban.
sadar, namun tidak sama sekali.
aku!
di sini aku!
aku yang telah mengabaikan,
aku yang tak mengingat.
seakan amnesia menyerang, tapi  tidak sama sekali.
3  terakhir di akhir desember,
aku baru mengingat itu.
entah itu siapa, tapi tak ada siapa-siapa.
disadarkan oleh pukulan yang dia hempaskan di telapak tangan kananku.
seolah ingin membangunkan, tapi aku menolak.
tetap saja kuterlelap dalam dinginnya fajar yang masih menghimpit.

maksud alam yang tak ingin melihatku terhanyut dalam indahnya kehidupan yang sebenarnya, mencoba untuk membangunkan untuk melanjutkan keinginan.


10.02 wita,  29 desember 2012.
masih  melihat alam


Minggu, 25 November 2012

merpati pergi



Malam yang tak seperti biasanya.
Terima kasih karena kau telah melepas merpati itu.
Terima kasih karena kau telah merawat merpati itu.
Dan terima kasih juga karena kau tak menyimpannya lagi dalam sangkar.
Lewat kisah sang merpati, kau telah memberikan banyak cerita.
Walau sebenarnya kau hanya menyimpannya dan tak sempat menemani.
Lewat malam,  kubercerita pada langit.
Lewat malam, bulan menjadi saksi.
Lewat malam juga kubiarkan angin membawa lukisan itu.
Apa yang telah kurasa sudah cukup sampai di sini.
Lembaran baru menantiku untuk memulai menorehkan tulisan-tulisan hidup yang indah.
Tak ada guna menyisipkan perjalanan itu dalam lembaran ini.
Yang ada hanya rasa sakit sang merpati.
Takkan pernah lagi!
Sudah cukup sampai di sini.
Sudah cukup luka yang kau bekaskan pada merpati.
Cukup!
Biarkan hari ini memeluk hari kemarin dengan kenangan serta masa depan yang panjang.
Biarkan merpati itu terbang tinggi ke angkasa melepas sejenak berat di hati,
Dan  kamu dapat menjawab keraguan cintamu pada merpati.
Dan merpati dapat memastikan keindahan langit.



25 november 2012., 07:35 wita.
Merpati terbelenggu (&)

Keluhan lautan hati


Sabtu pagi kau telah meneteskan air mata ini.
Kuyakin kau pasti merasa hilang dari bebanmu,
Kududuk di teras rumah sebagai buah tangan dari rasa sakit ini.
Hadiah yang telah kusiapkan telah kau balas dengan air mata.
Berikan matahari yang berpijar itu.
Agar kubisa tersenyum dalam alunan lagu penyesalan.
Di belai mesra oleh hembusan angin di bawah pohon.
Padang yang luas telah habis kupandangi,
Sampai saat tanah ini menjadi saksi, yang telah tersentuh oleh langkah nyanyian hati.
Di depan gubuk, tempat bermain mengisi cerahnya hari yang tak pernah letih untuk menemani.
Sampai saat tanah ini tetap menjadi saksi,
Sampai saat ini tersentuh oleh serakahnya ego.
Lonceng memenuhi kekosongan langit dengan denting panggilan pagi dari dalam gua, talu genta menggema seolah-olah alam ikut bersama (KG)
Bersama itu pula kuberanjak dari cahaya redup yang tak ingin kusinggahi lagi.
Bersama itu pula kuterbangkan serangkaian kisah yang tak ingin kujadikan sebagai hiasan hati.



Sabtu, 24 november 2012. 16:00 wita.
Cahaya yang redup (&)

Selasa, 20 November 2012

proses adaptasi psikologis pada wanita


Kita mengenal manusia, juga wanita, dengan melihat dunianya yang khas typis, dengan segala isi tingkah Iakunya. Dunia wanita mempunyai skema dasar dan struktur dasar tertentu dari tingkah laku wanita. Dunia wanita itu khas menampilkan diri sebagai dunia “yang memelihara”.
Sumber utama dunia “yang rnemelihara” dari kaum wanita itu berpangkal dari pada kehadiran seorang bayi. Dengan penghayatan pada kelahiran bayi, seorang wanita atau gadis kemudian mengembangkan dinamika adaptif pada situasi baru, untuk menyesuaikan diri yaitu mengembangkan pola-pola tipis kewanitaan dan khas keibuannya. Perbedaan secara anatomis dan fisiologi menyebabkan perbedaan pula pada pola tingkah laku wanita dan struktur aktivitasnya. Karena perbedaan itu timbul juga perbedaan isi dari dalam kemampuan selektifitas terhadap kegiatan yang intensional. Yang bertujuan dan terarah, sesuai dengan kodrat wanita.
Perbedaan fisiologis  yang alami sejak lahir, pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada . Khususnya oleh adat istiadat dan pengaruh pendidikan. Pengaruh cultural  dan pedagogis itu diarahkan pada perkembangan  pribadi wanita itu menurut satu pola hidup tertentu dan satu ide tertentu. Perkembangan tadi sebagian disesuaikan dengan bakat dan kemampuan wanita.
Eksistensi  wanita mencakup cara keberadaan jasmani dan rohaninya, termasuk cara wanita menghayati dan menyadari hakekat dirinya dan makna pribadinya, yaitu antara lain memahami relasi dirinya dengan dunia sekitar dengan segala isinya dan sesama manusia. Singkatnya, cara menghayati keadaan dirinya didunia dengan segala aspeknya.
Selaku manusia, wanita juga merupakan suatu substansi atau kemandirian. Maka, setiap substansi yang hidup tidak hanya otomatis saja hadir di dunia, akan tetapi dia harus memperjuangkan adanya dirinya, dan membangun realitas hidupnya untuk dapat mengembangkan pribadinya. Keadaan dirinya atau hidupnya itu bukan hanya merupakan satu pemberian saja, akan tetapi lebih merupakan satu proyek yang harus dilaksanakan sendiri dan diselesaikan sendiri. Eksistensi ini harus selalu diperjuangkan atas tanggung jawab sendiri, dengan semua potensi yang ada sebagai bekal wanita menuju pada kepribadian yang otentik. Sebagai pribadi yang mandiri, wanita adalah pengada dan pembentuk.
Maka, pembentukan diri bagi wanita yang paIing subur dan paling kaya adalah dengan jalan mau membuka diri sendiri bagi yang lain, dan berusaha untuk membahagiakan orang lain. Sebagai tujuan final hidupnya ialah: tidak mementingkan din sendini, da, ikut mementingkan kebahagiaan orang lain terutama kebahagiaan anak.-anaknya dan suaminya. Dengan demikian perkembangan kepribadiaanya menjadi semakin matang.
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa salah satu hal yang sangat berpengaruh pada psikologis wanita adalah Emosi. Salah satu wujud dan manifestasi emosi pada wanita adalah Strees.
Stress merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal. Sedangkan stressor adalah kejadian, situasi seseorang atau suatu obyek yang dilihat sebagai unsur yang rnenimbulkan stress dan menyebabkan reaksi stres sebagai hasilnya. Stressor sangat bervariasi bentuk da macamnya, mulai dan sumber-surnber psikososial dan perilaku seperti frustrasi, cemas dan kelebihan sumber-sumber bioekologi dan fisik seperti bising, polusi, temperatur dan gizi.
Orang-orang modern dihadapkan pada paradoksikal dari stress tersebut, dimana di satu pihak stress merupakan bagian penting dari hidup kita untuk memberikan semangat untuk bekerja dan hidup, dan  berkembang. Sebaliknya, stress juga merupakan akar dari sekian  banyak problem-problem sosiologikal, medis dan ekonomi. Stress diketahui merupakan faktor etiologi dari banyak penyakit. Salah satunya adalah menyebabkan gangguan pada menstruasi. Kebanyakan wanita mengalami sejumlah perubahan dalam pola menstruasi selama masa reproduksi. Tetapi, hubungan antara stress  dan pola menstruasi ini sangatlah kompleks dan pemahaman kita mengenai hubungan ini masih sangat terbatas. Dalam pengaruhnya terhadap pola menstruasi, stress melibatkan sistem neuroendokrinologi sebagai system yang besar peranannya dalam reproduksi wanita.
Dr.Hans Seyle, seorang ilmuwan yang terkenal dan pelopor dalam bidang penelitian mengenai stress, merancang suatu konsep mengenai reaksi tubuh terhadap stress yang disebut dengan respon adaptasi umum terhadap stress. Konsep ini menggambarkan respon tubuh terhadap stress menjadi tiga tahapan dasar yaitu tanggapan terhadap bahaya (alarm reaction), tanggapan fisik atau tahap perlawanan (stage of resistance) dan tahap kelelahan (stage of exhaustion). Ketiga tahapan ini tidak selalu terjadi pada setiap manusia yang mengalami stress karena tergantung pada daya tahan mental setiap individu.
studi epidemiologi baru-baru ini yang mengamati gangguan yang berhubungan dengan stress menemukan bahwa masalah ini menjadi dilema bagi para dokter. lebih dari semua profesi lain, tenaga medis memiliki konsekuensi untuk mengalami peningkatan ketegangan dan tekanan dalam populasi umumnya. Lebih kurang 50 — 75% semua kunjungan ke dokter secara langsung akan tak langsung berhubungan dengan stress. Meskipun pengobatan konvensional memainkan peranan penting dalam penatalaksanaan kelainan yang berhubungan dengan stress, tidak selalu sesuai dengan situasi saat itu sebagai tambahan memerlukan pendekatan edukasional dan preventif.
Dengan kewajiban terhadap koreksi patologi dan kurangnya penekanan pada tehnik pencegahan pengobatan konvensional memainkan peranan paliatif. Lebih jauh lagi, memerlukan waktu untuk mendiagnosis rnasalah-masalah gangguan yang berhubungan dengan stress dan tambahan waktu untuk mengatasi masalah ini dengan konseling. Para dokter tampaknya telah kelebihan pekerjaan dan kekurangan waktu untuk rnasalah ini. Apabila terapi obat dan nasehat-nasehat medis digabungkan dengan sistem suportif lainnya, kita bukan hanya akan menyingkirkan gejala dengan segera tetapi akan melangkah lebih jauh untuk mengatasi stres yang rnendasarinya. Dalam masalah ini, dukungan terhadap individu itu sendiri juga merupakan hal yang penting. Sesungguhnya, ada beberapa kondisi medis dimana tanggungjawab pencegahan dan pengobatan adalah sangat tergantung pada individu tersebut.
Pengetahuan merupakan hal mendasar untuk mengefektilkan penanganan stress pada individu. Dengan bantuan dan dukungan pada sisi pencegahan dan edukasional, usaha dan kerja yang dilakukan dokter untuk menahan kondisi-kondisi yang berhubungan dengan stress akan lebih efektif dan dihargai.
Orang  yang berada dalam keadaan stress menemukan kesulitan untuk relax dan seharusnya di pikirkan untuk dilakukan latihan relaksasi khusus. Latihan relaksasi merupakan aspek paling penting dalam menangani seseorang dengan stress. Ada banyak cara relaksasi seperti membaca, menyanyi, mendengarkan music atau hanya beristirahat saja. Bagi orang yang merasa tidak diperhatikan sebaiknya diberi semangat untuk melakukan beberapa pekerjaan yang berguna, meskipun terbatas. Mereka juga sebaiknya berbicara dengan orang yang lebih  percaya diri dan optimis dalam lingkungannya. Cara-cara ini merupakan cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi stress. Secara umum orang yang mengalami stress memerlukan dukungan untuk mengubah perilaku mereka dengan tujuan untuk:
• Mengembalikan pola tidur yang normal di malam hari, dan mengusahakan aktivitas yang berguna dan menyenangkan setiap hari
• Menemukan cara yang positif untuk mengatasi stress
• Menghentikan hal yang tidak menyenangkan
Secara garis besar solusi dalam menghadapi stress dapat dilakukan dengan beberapa pilihan sebagai berikut:
  • Diagnosis personal dari stress
  • Pengetahuan tentang stress
  • Berpikir positif dan sikap yang positif
  • Manajemen perencanaan, organisasi dan waktu
  • Aktivitas fisik dan nutrisi
  •  Program relaksasi
  • Aktivitas otak kiri dan kanan yang seimbang
  •  Toleransi/fleksibilitas/adaptaabilitas
  •  Enthusiasm
  •  Rasa humor
  •  Kebijaksanaan
  •  Siraman rohani.

dikutip dari blog sebelah ^^

Senin, 19 November 2012

Rajutan itu…


Selasa pagi,
pagi yang begitu cerah di tengah November ini.
Seiring waktu berlalu, kicau burung tak lagi kudengarkan.
Hingga kuterbangun di pelabuhan pulau kapuk.
Yang memaksa untuk mengikuti kemana arah kicau itu pergi.
Lewat jendela, tersibak angin ringan menyentuh pipi yang membuyarkan aku dalam lamunan.
Yang mengingatkan pada sebuah rajutan yang tak pernah sempurna.
Hingga rajutan itu mengepakkan sayap-sayapnya dan terbang menuju lingkaran cakrawala liar.
Bila badai ingin memisahkan benang-benangnya, maka hujan akan  menyatukan pada tempat dimana titik hujan itu berpijar.
Hingga Kebisuan malam membawakan  mazmur benang untuk mereka.
Kau tau untuk apa?
Untuk mengemban pesan cinta pada rajutan itu.
Dalam kerinduan, hubungan pengait dan setali benang adalah sesuatu yang pernah kuketahui dalam hidup.
 Bila sepi telah puna, maka cinta turut terbang.
Seseorang tak akan merasakan betapa berarti sebuah rajutan ketika bukan dia yang membuatnya.
Inilah ukuran sesuatu yang tidak tampak dan tidak mesti untuk diperlihatkan.
Tapi, cerita ini tersembunyi di balik cinta.
Tak pernah terbesik untuk membuat penyamaran kisah ini,
Kisah ini kuhadirkan dalam ketelanjangan  kalimat demi kalimat hanya untuk rajutan yang tak pernah sempurna.

09:55 wita., Selasa, 20 november 2012.
Pengait dan seuntai benang.

Lewat bulan ku berbicara,


Bulan yang telah menampakkan dirinya ,
Indah dan terlihat sempurna.
Hingga dinginnya malam yang begitu menusuk tak membiarkanku untuk beranjak dari tempat ini.
Kadang ku berbicara pada bulan,
Bahkan Sering ku berbicara pada bulan!
Apakah dia menjawabmu?
Ya!
Dia menjawabku!
Lewat apa dia berbicara?
Lewat semilir angin  dan lewat cahaya yang dia kirimkan, hingga seluruh jagad raya tahu bahwa itu adalah bulan!
Bulan yang telah memancarkan sinar indahnya saat purnama.
Yang memaksaku untuk menarik kertas dari dalam kain  yang berwadah.
Karena Aku lebih menyukai menulis lebih dari sebuah makanan,
Dan lebih berharga dari sebungkus roti atau sebotol air mineral.
Saya yang kadang tak cukup puas bila hanya ada homonidipus, dan tanpa kehadiran keduanya.
Dia tak cukup untuk menghadirkan spektrum-spektrum.
Dan aku lebih percaya pada pena untuk menjadi teman  dalam sunyi malam yang menyapa.
Maafkan aku yang tak terlalu mempercayaimu dibandingkan hanya sebuah pena dan kertas.
Yang kadang membuat pikiran saya lalai, hingga secarik kertas dan sebuah pena ini sangat berharga untuk kuhadiahkan pada jemariku dan alur-alur yang telah siap untuk dialungkan lewat rhapsody-nya.
Kadang kumendengar suara yang memanggilku untuk keluar,
Suara dari seseorang yang membawaku ke alam yang tak cukup puas bila tak ada pena dan secarik kertas.
Dan lagi kumenyebut nama itu!
Mereka datang karena aku membaca dan mengikuti alurnya.
Kadang-kadang aku terbangun dan telah ada di sana,
Di dalam kehidupan mereka.
Atau pada saat berjalan, saat itu dia ada!
Entah darimana asalnya.
Namun sering menghampiriku secara tiba-tiba hanya untuk menghantarkan sebuah inspirasi.
Dialah yang memberikanku sketsa.
Sketsa yang tercipta dari sebuah inspirasi,
Inspirasi ada di sekitar kita.
Bahkan  dari setiap yang didengarkan.
Yang harus kulakukan adalah menyadari hal itu,
Membuka diri untuk melihatnya.

Entah ini ingin disebut sebagai apa.
Tercipta dari sebuah perjalanan yang mengantarkan  diri ini mengenal betapa berartinya sebuah pena dan kertas yang menciptakan beribu kata.

Sen,13:20 wita.,19 november 2012.
Dari kata hingga kalimat, satu kisah yang mengingatkan mengapa ada pena dan kertas dalam hidupku.

Rabu, 14 November 2012

kacau!

menatap ringan setiap titik rintik hujan yang semakin lama semakin deras.
perlahan, hujan menghampiri di tengah november ini.
angin tersibak memberi ayunan pada setiap helai  daun yang melekat pada tangkai kehidupan.
seolah tak memberi ruang untuk bernafas,
mendesak keinginan yang tak juga menampakkan rohnya.
memberikan jalan kepada para babu buta yang seharusnya menjadi tuntutan.
raga ini terdiam, jiwa ini melayang.
sapa yang peduli?
tidak ada!
seorang pun tak ada yang merasakan hal itu!
hilang beribu jiwa tenggelam dalam kenestapaan yang hanya berjalan dalam mimpi.
tak menatap pada kehidupan nyatanya.




Selasa, 16 Oktober 2012

berjalan menyusuri malam, hingga lampu jalan kota menemani..
masih merasakan tamparan polusi.
walau sebenarnya bulan telah menampakkan dirinya.
melaju tak begitu kencang, melihat suasana bahu jalan yang semakin terlihat ramai oleh parah kaumNya.



Rabu, 03 Oktober 2012

pengejaran harapan

dalam jiwa yang memberikan ketenangan,
terima kasih telah membuat hati ini damai.
damai dalam kelamnya pemikiran yang entah itu disebut apa.
tenggelam dalam lautan kehidupan yang kadang tak nyata.
diri ini,
berdiri di sini.
dan mengatakan , jangan berikan kesempatan kepada kegembiraan dan ratapan. 
memberikan klimaks yang begitu dalam.
antusias kehidupan dalam menyambut bayangan masa depan itu lebih bijaksana.
seorang pelukis memberikan warna pada kanvasnya agar terlihat indah.
menghasilkan sebuah nilai yang begitu tinggi.
tak terlihat dari apa, namun itu adalah seni.
karena warna dapat menyembuhkan,
karena warna dapat memberikan semangat.
lalu, mengapa tak menghubungkan itu?
kacau!
bagaimana dengan masalah hati?
mempunyai kemantapan hati tujuan jangka panjang harus dimiliki.
agar tak tergoyah dengan kegagalan jangka pendek.
diri ini takkan membiarkan ketakutan menyelimuti, karena akan membuat mundur dari pengejaran harapan.
seharusnya diri ini tahu, dari semua pembohong di dunia ini hal yang paling buruk adalah rasa takut itu sendiri.

lebih baik berani menghadapi hal-hal besar demi kemuliaan kendati banyak bayangan tentang kegagalan ketimbang bersekutu dengan orang-orang yang berjiwa malangdan takut terhadap penderitaan. sebab mereka hidup dalam "senja abu-abu" yang tidak mengetahui arti kemenangan atau kegagalan. (Theodore D. Roosevalt)





Selasa, 02 Oktober 2012

telah lalu

jarum jam menunjukkan tepat pukul 8.00 wita.
waktu dimana tempat peraduan ini berada.
tak lagi mengambil langkah pelan, berlari lalu menancapkan semangat di atas tanah kehidupan.
percaya pada keinginan yang akan  tercapai.
jangan memulai harapan tanpa keyakinan.
terdengar suara samar,
itu adalah beo dari tetangga sebelah yang meratapi nasib!
kasihan!
bukan maksud untuk mengejek,
lalu apa?
hanya memberi pertanda sikap pada waktu yang telah lalu.
tak mesti jadi santapan wajib di hadapan cermin yang menjadi saksi air mata mengalir dari pipinya.
memberikan suapan yang mungkin sedikit atau lebih menyakitkan dari apa yang saya lihat.
memang nyatanya tak mengerti tapi masih bisa merasakan pandangan kosongnya.
memberikan pertanda terikat pada keinginan yang tak semestinya dia terima.
memandangi dari balik jendela, melihat dia ke penghujung jalan.
harapan untuk lanjut mestinya telah ada sejak kepergian pasangannya.
namun dia tetap saja meratapi.
penuaan yang terjadi tak menyadarkan dirinya.
berbicara tapi tak mempunyai makna.
itulah dirinya yang hidup dalam keinginan masa lalu.


............
03 oktober 2012. 09:10 wita.

label pagi

sepertinya pagi telah menyapa,
terlihat begitu cerah dan membuat hari ini terasa lebih dari sebelumnya.
pandangi sang mentari yang elok d ufuk sana,
mengingatkan pada suasana dua dekade yang telah lalu.
tersipu malu ketika memori klasik itu terbesik.
memandangi langit yang begitu cerah,
dan orang-orang memulai aktivitasnya.
namun disini kumasih tetap saja belum beranjak.
tak begitu indah namun itulah kenangan.
kenangan yang telah terlewatkan oleh waktu.
dan hanya bisa melihatnya dalam memori klasik.
entah sampai kapan akan tersimpan,
atau hanya untuk sementara?
sebuah keinginan yang tak mungkin terulang.
perbait kata-kata ini terus mengalir.
seolah menyuplai tenaga untuk terus memainkan kunci kata.
tak berhenti sampai disini, semua mengalir begitu saja.
menumbuhkan keinginan untuk memainkan pena.
ah! bukan!
ini bukan pena, ini hanya sebuah tombol.
itu maksudnya, tapi entah namanya apa.
memberikan ejekan !
hanya bisa tertawa lepas melihat itu.
tapi lupakan sepenggal kalimat tadi,
beralih pada sebuah retorika, atau janganlah sebut seperti itu!
terlalu tinggi untuk memajangnya pada tulisan sederhana ini.
lalu apa?
cukuplah sampai pada ujung kalimat ini.

menyebut apa
03 oktober 2012. 06:52 wita


inilah tanganku, genggamlah dengan keindahan tanganmu.

beranjak dari peraduan nasib.
tak tau menentukan arah kemana.
melihat segelintir kenestapaan yang tak juga meredam.
melihat peraduan yang berharap netralitas.
aku berpikir dengan jujur bahwa lebih baik gagal pada sesuatu yang kamu cintai daripada berhasil pada sesuatu yang kamu benci. ( george F. burns)
tak berharap keinginan ini hadir dalam keadaan yang tak semestinya.
membuat satu atau dua kening mengerut dalam pemahaman yang ambigu ini, menurutnya.
tapi tetap saja bergelut pada retorika yang tak punya tanggungjawab, menurutku.
meredup keinginan untuk menapaki, namun gejolak ini tetap saja ingin merenggut.

kembali kuberadu pada kenestapaan.
terlalu hina dengan kata itu!
seolah tak punya keinginan untuk melawan arus.
layang-layang saja dapat terbang karena menentang angin, bukan untuk mengikuti angin.
tak berpikir sampai serumit ini, tapi mencoba untuk berbuat.
mencoba melihat peradaban kehidupan yang ada dihadapanku.
pohon yang memiliki lingkaran sebesar pelukan orang dewasa berasal dan tumbuh dari benih yang kecil.
bangunan setinggi sepuluh tingkat pun dibangun dari dasar tanah. dan perjalanan seribu kilo meter selalu dimulai dari satu langkah. (laozi)
lalu, masih adakah terbesik untuk tak melanjutkan jalanmu?
berhentilah memberikan tatapan kosong pada jalan itu.
tak peduli apapun yang menerpa.
genggam tanganku, jangan biarkan diri ini terjerat dalam pemikiran yang bertopan.

resiko dan keyakinan itu seharusnya telah tertanam.
tidak ada pertumbuhan inspirasi jika hanya tinggal di dalam suatu tempat yang aman dan nyaman.


tercipta dari kesalahan yang mencoba ingin berhenti untuk melangkah. namun TIDAK!
02 oktober 2012. 20:07 wita.

Selasa, 28 Agustus 2012

ada apa dengan sekolah-sekolah di ASIA ?


Pengaruh lingkungan terhadap perkembangan kepribadian tidak hanya berasal dari lingkungan budaya pada umumnya, melainkan dapat juga datang dari lingkungan sekolah.
majalah TIME, 15 april 2002, misalnya melaporkan kasus berikut (yang kemudian dikenal dengan kasus KOBE):

Kobe adalah sebuah kota di jepang yang tenang dan tradisional. setiap pagi dan petang karyawan dan karyawati serta pelajar-pelajar sekolah pergi dan pulang ke kantor dan sekolah masing-masing, di lampu lalu lintas pengemudi mengurangi kecepatannya ketika lampu kuning menyala (bukan justru mempercepatnya), dan seterusnya. pokoknya tidak ada yang menyangka bahwa di tengah masyarakat yang tradisional dan disiplin itu, terpendam masalah yang besar.

tetapi pada suatu hari, di tahun 1997, ketenangan itu terusik. seorang anak laki-laki berusia 14 tahun diskors dari sekolah karena berkelahi. Untuk mengisi waktunya selama tidak ke sekolah ia menyiksa kucing-kucing dan mengumpulkan berbagai pisau. pada suatu hari, ia mengajak kawan sekolahnya yang berusia 11 tahun untuk bermain ke hutan yang sepi. di situ kawan itu dibunuh dan setelah dipotong kepalanya diletakkan di depan gerbang sekolah, dan dimulut kepala tanpa badan itu diselipkan secarik kertas bertuliskan: "INI ADALAH BALAS DENDAM PADA SISITEM SEKOLAH YANG KELEWAT MEMAKSA DAN MASYARAKAT YANG MENCIPTAKANNYA".

dua tahun setelah itu kasus kobe itu, seorang remaja membunuh seorang anak berusia 7 tahun di halaman sekolahnya, setahun kemudian seorang remaja berusia 17 tahun memukuli setiap orang yang lewat dengan pemukul baseball di sebuah pusat keramaian di tokyo.kasusu-kasus serupa juga terjadi di korea selatan dan hongkong.

di Indonesia sendiri , salah satu kasus terkenal adalah seorang pelajar SMU di Medan bernama rizal yang membunuh ayah,ibu dan tiga saudara kandungnya, setelah ia dimarahi oleh ayahnya (seorang saudara lainnya selamat, karena sedang diluar kota). selain itu, diduga ada pengaruh penyalahgunaan obat, ternyata rizal adalah anak bungsu dari keluarga yang semuanya sarjana (ayahnya dokter, kakak-kakaknya dokter dan sarjana lain), dan rizal juga diharapkan untuk menjadi sarjana sehingga diduga bahwa rizal menjadi tertekan karenanya.

stres mental seperti itu, menurut laporan majalh TIME tersebut disebabkan karena sistem pendidikan di Asia sangat mengutamakan prestasi sekolah, khususnya dalam bidang matematika dan ilmu pasti (IPA) sebagai satu-satunya tolak ukur prestasi seseorang (sejak TK sampai UNIVERSITAS).

tidak mengherankan bahwa setiap orangtua berusaha memacu anaknya untuk menjadi juara kelas dan setiap anak yang tidak sukses dalam pelajaran matematika dan IPA dianggap sebagai pecundang. dampaknya adalah bahwa banyak anak (khususnya remaja) yang putus asa, karena tidak pernah diperhitungkan prestasinya.(walaupun mungkin ia olahragawan atau seniman yang baik) sehingga bisa menimbulkan sikap acuh tak acuh atau bahkan agresif kepada orang lain (seperti contoh-contohdi atas) atau kepada diri sendiri (angka bunuh diri pun relatif tinggi di negara-negara Asia).

sarwono, W sarlito.(2012). psikologi remaja. jakarta: PT. raja grafindo persada.

Sabtu, 09 Juni 2012

dompleng di atas domplang

dompleng domplang dalam dompleng
tak dompleng dari hati tak nyaman.
derita domplang tak bergerak,
dompleng dari domplang,
domplang untuk dompleng.
tak berdomplang masa kecil tak berdawai.
dompleng membuat hati tenang.
dompleng dalam domplang membuat mereka tersenyum,
walau dompleng kudapatkan dari atas gelagar penuh rayap.

mana ada dompleng dari "atas".
"atas" saja tak mengerti dompleng.
menikmati dompleng di atas domplang,
bisa-bisa dompleng tumpah.
walau dompleng tumpah, namun aku tetap saja senang merasakan domplang kehidupan.

puji,R.  09 juni 2012,16:42 wita.
dalam peradaban domplang kehidupan.

Jumat, 08 Juni 2012

psikologi lintas budaya

MAKALAH

 PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

METODOLOGI PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Oleh kelompok X
Anggota :
Puji Rahayu
Arham S
Goibah Nirsani R
A.Zulfiana
A.Yuni Farida Anwar
Fachrunnisa
Aidil Mabruri
Muh. Trisyawal

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012

KATA PENGANTAR


            Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya lah yang diberikan, berupa nikmat kehidupan, kesehatan, kesempatan sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
            Tugas yang diberikan yaitu mengenai Metodologi Penelitian Lintas Budaya. Dalam makalah ini, kami memaparkan beberapa hal penting yang terkait dengan metode penelitian lintas budaya. Metodologi penelitian sangat perlu diperhatikan agar sesuai dengan standar ilmiah dalam hal validitas dan reliabilitas. Kami harap materi yang kami paparkan dalam makalah ini dapat berguna dan sesuai dengan yang diinginkan oleh dosen.
            Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami memohon maaf bila terdapat kesalahan dalam pemaparan materi yang kami lakukan. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih banyak.



Makassar, 11 Maret 2012

                                                                                                                                   

Penyusun


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
    Peningkatan hubungan antar pribadi, antar kelompok, maupun antar bangsa yang dipicu oleh kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi sejak ratusan tahun lalu membuat kebutuhan untuk memahami kebudayaan orang atau komunitas lain yang mereka temui dengan tujuan mencegah kesalahpahaman dan konflik meningkat. Para pedagang, diplomat, tentara, maupun mahasiswa yang harus berinteraksi, bertugas, atau tinggal bersama komunitas dengan budaya yang asing karena tuntutan pekerjaan maupun studi mereka sering menemukan masalah-masalah yang timbul karena perbedaan budaya.

     Istilah “cross-cultural studies” muncul dalam ilmu-ilmu sosial pada tahun 1930-an yang terinspirasi oleh cross-cultural survey yang dilakukan oleh George Peter Murdock, seorang antropolog dari Universitas Yale. Istilah ini pada mulanya merujuk pada kajian-kajian komparatif yang didasarkan pada kompilasi data-data kultural. Namun istilah itu perlahan-lahan memperoleh perluasan makna menjadi hubungan interaktif antar individu dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda (Wikipedia, 2008).
-    Dalam konteks pengertian pertama, penelitian lintas budaya merupakan kajian dalam berbagai bidang ilmu yang dilakukan dengan cara membandingkan berbagai unsur beberapa kebudayaan. Kajian perbandingan di bidang politik, ekonomi, komunikasi, sosiologi, teori media, antropologi budaya, filsafat, sastra, linguistik dan musik (ethnomusicology) merupakan beberapa bentuk kajian dalam konteks ini.

-          Dalam konteks pengertian kedua, penelitian lintas budaya diarahkan pada kajian tentang berbagai bentuk interaksi antara individu-individu dari berbagai kelompok budaya yang berbeda. Kajian lintas budaya dalam perspektif ini mengambil interaksi manusia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati karena, sebagaimana halnya dengan pemahaman antropologis yang memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life).

     Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan yang perlu diteliti seharusnya tidak hanya yang ‘spektakuler’saja. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat, maupun dialami dalam interaksi sehari-hari oleh dua atau lebih individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda merupakan wilayah amatan cross-cultural studies. Kajian lintas budaya kontemporer cenderung termasuk ke dalam “cross-cultural studies” dengan makna kedua di atas.
     Penggunaan kata majemuk ‘studies’ dalam penamaan crosscultural studies menyiratkan sikap dan ‘positioning’ para penggagas yang tidak puas terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak dan saling mengklaim kebenaran. Padahal lambat laun disadari bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan secara sendiri-sendiri bersifat parsial dan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan di kalangan masyarakat secara komprehensif.
Adapun dengan penjelasan di atas, maka pada makalah ini akan di bahas, yaitu:
-          Sejarah singkat kajian lintas budaya sehingga memberikan gagasan beberapa ahli untuk membuat suatu metode penelitian yang berkaitan dengan kajian lintas budaya
-          Menjelaskan beberapa metode dalam kajian lintas budaya.

B.  Tujuan penulisan
1.   Mendeskripsikan sejarah singkat kajian lintas budaya.
2.   Mendeskripsikan beberapa metode dalam kajian lintas budaya.

BAB II
PERMASALAHAN

A.    Rumusan masalah
Berdasarkan pernyataan yang telah dibahas pada latar belakang, maka masalah yang akan di uraikan pada makalah ini adalah:

1.      Bagaimana sejarah singkat kajian lintas budaya sehingga memberikan gagasan beberapa ahli untuk membuat suatu metode penelitian?
2.      Bagaimana metode dalam kajian lintas budaya?

B.     Tinjauan masalah
Tinjauan masalah dari makalah tersebut adalah:
1.      Menjelaskan sejarah singkat kajian lintas budaya sehingga memberikan gagasan beberapa ahli untuk membuat suatu metode penelitian.
2.      Menjelaskan metode dalam kajian lintas budaya.

BAB III
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Kajian Lintas Budaya
     Menurut Wikipedia (2008c), kajian lintas budaya pertama kali dilakukan oleh Abū Rayhān Bīrūnī yang menulis kajian-kajian antropologis bandingan di bidang agama, kemasyarakatan, dan kebudayaan di Timur Tengah, Mediterania, dan khususnya di India. Dia menyajikan temuan-temuannya secara objektif dan netral dengan menggunakan metode perbandingan kebudayaan. Kajian lintas budaya yang ekstensif kemudian dilakukan pada akhir abad ke-19 oleh beberapa antropologis, seperti Tylor dan Morgan. Mereka memanfaatkan data-data tentang berbagai kebudayaan yang dihimpun oleh banyak pihak dari berbagai penjuru dunia, seperti missioner, petualang, atau pegawai-pegawai colonial (Wikipedia, 2008). bahan-bahan itu kemudian diorganisasikan dan dibandingkan untuk memahami ciri-ciri masyarakat manusia. Kajian lintas budaya modern diawali oleh George Peter Murdock (1897-1985) yang terkenal dengan kajian perbandingan system-sistem dan analisis kajian lintas budaya tentang keteraturan danperbedaan-perbedaan yang terdapat diantara masyarakat yang berbeda. Dia mempelopori penggunaan pendekatan empiris terhadap antropologi melalui kompilasi data berbagai kebudayaan mandiri dan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistik yang sesuai. Murdok memandang dirinya lebih sebagai ilmuwan sosial yang tetap menjalin kemitraan dengan para peneliti di bidang ilmu lainnya daripada antropolog.
B.     Metodologi Kajian Lintas Budaya
     Seperti telah disinggung sebelumnya, kajian lintas budaya mengambil interaksi sehari-hari manusia dengan latarbelakang kebudayaan berbeda sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Kajian lintas budaya dilandaskan pada asumsi dasar bahwa kontak, persinggungan atau pergesekan antar budaya yang memicu proses inkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya akan mengubah budaya asli. Melalui analisis bandingan terhadap berbagai unsur yang terlibat dalam kontak antar individu dengan kebudayaan berbeda diharapkan dapat menghasilkan:
1.      Generalisasi induk dan orisinalitas budaya, seperti tujuan penelitian Tylor dan antropolog lainnya.
2.      Pemahaman tentang proses evolusi dan difusi budaya, yang menjadi fokus utama kajian lintas budaya kontemporer.
Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan pertama di atas dilandasi pada paham positivistik dan biasanya membutuhkan sampel yang cukup besar. Dengan menggunakan metode etnografis, data dijaring tidak hanya dari satu wilayah tetapi juga dari luar wilayah budaya yang bersangkutan. Kajian seperti inilah yang dilakukan Murdock (Wikipedia, 2008) ketika dia mencoba mencari korelasi budaya hubungan kekerabatan patrilineal dan matrilineal. Dia mencari seberapa jauh korelasi antar variabel, seperti mata pencaharian, kemampuan membuat tembikar, menenun, keahlian sebagai tukang, dan stratifikasi sosial. Selanjutnya, dia mengkaji masalah “rasa tak sehat”, bahwa dalam kebudayaan di dunia ternyata “rasa tak sehat” berbeda dengan “rasa sakit”. Dari hasil-hasil analisis data, biasanya diperoleh kesimpulan tentang adanya “culture area”, atau sebuah golongan budaya berdasarkan wilayah geografisnya. Sebagai contoh, menurut Endraswara (dalam Prasetia, 2007), Wissler sempat membagi kebudayaan suku bangsa Indian menjadi sembilan culture area. Gagasan serupa tampaknya juga telah mempengaruhi peneliti budaya di Indonesia, sehingga ada etnografi Batak, etnografi Bugis, etnografi Jawa, etnografi Sunda, dan sebagainya.  
  Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan kedua di atas menggunakan studi komparatif dalam rangka merekonstruksi kemiripan budaya, proses evolusi, serta transformasi budaya masa kini. Rekonstruksi akan menggambarkan aspek historis dan homogenitas. Tujuan yang dikejar adalah mencari kesamaan-kesamaan budaya pada masing-masing daerah. Untuk mencapai tujuan itu, perbandingan diarahkan pada tiga hal pokok:
1.      Persepsi, yaitu bagaimana tanggapan pelaku budaya satu dengan yang lain ketika menerima dan atau menolak budaya yang hadir.
2.       Kognisi, yaitu membandingkan pola pemikiran pendukung budaya masing-masing.
3.      kepribadian dan jati diri, yaitu memban-dingkan kepribadian dan jatidi pemilik budaya masing-masing.
Dari berbagai hal yang dibandingkan ini, peneliti akan mencari korelasi atau hubungan kemiripan. Hubungan tersebut akan membentuk varian-varian budaya satu sama lain, sehingga dapat ditentukan mana budaya transformasi dan mana budaya yang asli (Endraswara dalam Prasetia, 2007). Mengingat luasnya ruang lingkup dan banyaknya unsur maupun disiplin ilmu yang terlibat dalam kajian lintas budaya, metode penelitian yang ’fixed’ untuk digunakan dalam bidang ini tidak dapat ditentukan. Home/FAQ (2006) menegaskan: “There is no such thing as “the cultural studies method,” and there is no single or simple answer to the question of how to do cultural studies. Hal ini diakibatkan oleh kenyataan, bahwa kajian budaya merupakan studi yang kontekstual, dengan pengertian bahwa pertanyaan apapun yang dicoba dijawab biasanya membutuhkan berbagai pendekatan dan metode yang tersedia.  Di satu penelitian, analisis atas data yang diperoleh dari berbagai teks mungkin sudah memadai. Pada penelitian lain, metode etnografi yang utuh mungkin dibutuhkan. sedangkan penelitian yang lain lagi membutuhkan metode perpaduan beberapa metode. Sehubungan dengan hal ini, yang dibahas dalam makalah ini dibatasi hanya pada metode-metode penelitian lintas budaya yang paling lazim digunakan, yaitu:
-        Etnografi
-        Folklore
-        Etnometodologi
-        Etnosains interaksi simbolik
-        grounded theory.
 Secara umum materi penjelasan tersebut diadaptasi dari Prasetia (2007).
1.      Etnografi
     Etnografi adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Studi ini terkait dengan bagaimana subyek berpikir, hidup, dan berperilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa unik yang jarang teramati oleh kebanyakan orang. Penelitian etnografi merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial, peristiwa dan kejadian unik dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Penelitian etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, konstruktif, transferabilitas, dan subyektif. Selain itu, etnografi juga lebih menekankan teknik idiografik yang dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan budaya dan tradisi yang ada.  
  Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan berperan serta (partisipant observation). Sehubungan dengan itu, peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Hal ini sejalan dengan pengertian istilah etnografi berasal dari kata ’ethno’ (bangsa) dan ‘graphy’ (menguraikan atau menggambarkan) yaitu ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. Etnografi pada hakikatnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Uraian tersebut kemudian akan mengungkapkan pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Selain analisis data yang dilakukan secara holistic bukan parsial, ciri-ciri lainnya dari penelitian etnografi adalah:
a.       Sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari;
b.      Peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data;
c.       Bersifat pemerian (deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan;
d.      Digunakan untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus;
e.       Analisis bersifat induktif;
f.       Di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang ditelitinya;
g.      Data dan informan harus berasal dari tangan pertama;
h.      Kebenaran data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek dengan data tulis);
i.        Orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan juga), konsultan, serta teman sejawat;
j.        Titik berat perhatian harus pada pandangan emik, artinya, peneliti harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari orang yang diteliti, dan bukan dari etik;
k.      Dalam pengumpulan data menggunakan purposive sampling dan bukan probabilitas statistik. Dapat menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif, namun sebagian besar menggunakan kualitatif.

     Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupakan model penelitian budaya yang khas. Etnografi memandang budaya bukan semata-mata sebagai produk, melainkan proses.  Harris (dalam Prasetia, 2007) menegaskan bahwa kebudayaan akan menyangkut nilai, motif, peranan moral etik, dan maknanya sebagai sebuah sistem sosial. Kebudayaan tidak hanya cabang nilai, melainkan merupakan keseluruhan institusi hidup manusia dan sekaligus merupakan hasil belajar manusia termasuk di dalamnya tingkah laku. Oleh sebab itu, etnografi memberi perhatian pada hakikat kebudayaan sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.
     Penentuan sampel pada penelitian kualitatif model etnografik, ada lima jenis yaitu:
1.      Seleksi sederhana, artinya seleksi hanya menggunakan satu kriteria saja, misalkan kriteria umur atau wilayah subyek.
2.      Seleksi komprehensif, artinya seleksi bedasarkan kasus, tahap, dan unsur yang relevan.
3.      Seleksi quota, seleksi apabila populasi besar jumlahnya, untuk itu populasi dijadikan beberapa kelompok misalnya menurut pekerjaan dan jenis kelamin.
4.      Seleksi menggunakan jaringan, seleksi menggunakan informasi dari salah satu warga pemilik budaya.
5.      Seleksi dengan perbandingan antar kasus, dilakukan dengan membandingkan kasus-kasus yang ada, sehingga diperoleh ciri-ciri tertentu, misalnya yang teladan, dan memiliki pengalaman khas.
      Dari lima cara tersebut, peneliti budaya model etnografi dapat memilih salah satu yang paling relevan dengan fenomena yang dihadapi. Meskipun demikian, seleksi secara komprehensif dipandang lebih akurat dibanding empat kriteria seleksi yang lain. Melalui seleksi secara komprehensif, peneliti akan mampu menentukan langkah yang tepat sejalan dengan apa yang diteliti. Yang lebih penting lagi, jika harus mengambil sampel, sebaiknya dilakukan secara pragmatik dan bukan secara acak. Peneliti perlu mengetahui konteks masyarakat yang diteliti, tanpa membawa pra konsep atau pra duga atau teori yang dimilikinya.
2.       Kajian Folklore  
 Istilah folklor berasal dari kata folk, yang berarti ’kolektif’, dan lore, yang berarti ’tradisi’. Jadi, folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat.  Menurut Dundes (dalam Prasetia, 2007), folk adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok yang lainnya.  Ciri fisik, antara lain berwujud warna kulit. Ciri lain yang tidak kalah pentingnya adalah mereka memiliki tradisi tertentu yang telah turun-temurun. Tradisi inilah yang sering dinamakan lore. Tradisi semacam ini yang dikenal dengan budaya lisan atau tradisi lisan. Tradisi tersebut telah turun-temurun, sehingga menjadi sebuah adat yang memiliki legitimitasi tertentu bagi pendukungnya. Folklor adalah milik kolektif kebudayaan.
     Dalam kaitannya dengan budaya, folklor memiliki beragam bentuk. Pakar yang berbeda memberikan ragam yang berbeda (Prasetia, 2007). Menurut Bascom, misalnya, folklore terdiri dari budaya material, organisasi politik, dan religi.  Menurut Balys, folklor terdiri dari kepercayaan rakyat, ilmu rakyat, puisi rakyat, dll. Menurut Espinosa folklor terdiri dari:kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos, magic, ilmu gaib dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut sebenarnya banyak menarik peneliti budaya melalui kajian folklor. 
   Sebagai patokan tentang apakah unsur-unsur itu merupakan obyek kajian folklor atau bukan, Dananjaya (dalam Prasetia, 2007) mengusulkan sembilan kriteria berikut.
-      Pertama, penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut, dan kadang-kadang tanpa disadari.
-      Kedua, bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam waktu relatif lama dan dalam bentuk standar.
-      Ketiga, folklor ada dalam berbagai versi-versi atau varian.
-      Keempat, folklore bersifat anonim, penciptanya tidak diketahui secara pasti.
-      Kelima, folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
-      Keenam, mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif.
-      Ketujuh, bersifat pralogis, yaitu memiliki logika sendiri yang tidak tentu sesuai dengan logika umum.
-      Kedelapan, merupakan milik bersama suatu masyarakat. Kesembilan, bersifat polos dan lugu
Tahap-tahap penelitian folklor, sebenarnya cukup simpel, yaitu:
-      Pengumpulan data, pengklasifikasian, dan penganalisisan. Tahap - tahap ini, tentu didahului para penelitian yang bermacam-macam, antara lain perlu persiapan matang dan mampu menjalin kerjasama yang baik dengan pemiliki folklor. Dengan cara terjun langsung ke kancah folklor, peneliti akan mengambil data asli dan bukan sekunder. Tentu saja, sulit tidaknya data digali dan memakan biaya banyak atau sedikit perlu dipertimbangkan masak-masak. Lebih penting lagi, peneliti folklor perlu membangun jalinan yang akrab dengan subyek penelitian. Jika tidak, kemungkinan besar folklor yang berhubungan dengan kepercayaan rahasia akan sulit terungkap. Padahal, folklor demikian justru ditunggu oleh pembaca. Hal ini berarti hubungan antara peneliti dan subjek penelitian sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian. Jika hubungan terkesan kaku dan ada unsur kecurigaan, berarti ada tanda-tanda bahwa penelitian kurang berhasil.
3.      Etnometodologi
     Etnometodologi adalah metode kajian modern yang banyak diterapkan pada ilmu sosial. Namun, dalam kajian budaya metode ini sering digunakan. Etnometodologi dipelopori oleh Harold Garfinkel (Muhadjir, 2000:129). Model penelitian ini merupakan cara pandang kajian sosial budaya masyarakat sebagaimana adanya. Jadi, dasar filosofi metode penelitian ini adalah fenomenologi, yang memandang “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas  itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Etnometodologi menitikberatkan bagaimana pendukung budaya memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Penelitian diarahkan untuk mengungkap bagaimana seorang individu maupun kelompok memahami kehidupannya. Subjek penelitian tak harus masyarakat terasing, melainkan masyarakat yang ada di sekitar kita. Bagaimana orang atau suatu kelompok memandang budayanya, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Dengan kata lain, etnometodologi lebih banyak untuk mengungkap budaya dalam konteks interaksi sosial. Dalam hal ini, bahasa sebagai medium interaksi pun perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Tiap-tiap pemilik budaya biasanya memiliki bahasa khas sebagai medium interaksi sosial. Sehubungan dengan itu, realita menjadi suatu hal yang sangat penting bagi model ini. Etnometodologi termasuk kajian yang berlandaskanpada postpositivistik. Paradigma yang dibangun oleh paham ini senada dengan etnosains yang berusaha mendeskripsikan budaya, tradisi, keyakinan, masyarakat itu sendiri. Kesadaran pemilik budaya tentang miliknya menjadi pangkal tolak etnosains.
4.      Etnosains
     Etnosains adalah salah satu teori penelitian budaya yang relatif baru. Kata etnosains berasal dari kata Yunani ethnos yang berarti ’bangsa’, dan Latin scientia artinya ’ilmu’. Jadi, secara etimologis etnosains berarti ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya, sedangkan dalam konteks kajian lintasbudaya, etnosains merupakan ilmu yang mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya tertentu. Tekanannya adalah pada pengetahuan asli dan khas suatu komunitas budaya.
    Menurut Haviland (dalam Prasetia, 2007), etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Pribumi biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka mempertahankan hidup. Ditinjau dari pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk etnografi baru (the new ethnography). Melalui etnosains, sebenarnya peneliti budaya di luar Barat justru akan mampu membangun teori yang grass root dan tidak harus mengadopsi teori budaya Barat yang belum tentu relevan.
     Penelitian etnosains terhadap fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau folk. Pangkal kajian selalu berpusat pada pemilik budaya. Dengan demikian, budaya tidak lagi dipandang dari aspek peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris pemilik. Budaya diangkat berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur tangan peneliti yang berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau mengeklaim apakah pandangan mereka benar atau keliru, tepat atau tidak tepat, dan seterusnya. Tugas peneliti lebih mengarah pada upaya menjelaskan kepada publik tentang pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertugas mensistematiskan pandangan mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian. Kehadiran etnosains, menurut Putra (dalam Prasetia, 2007), memang akan memberi angin segar pada penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya telah mengenal verstehen (pemahaman), namun tetap memberi wajah baru bagi penelitian budaya. Oleh karena, memang banyak peneliti budaya yang secara sistematis memanfaatkan kajian etnosains. Pengumpulan data dalam etnisains tidak berbeda dengan penelitian etnografi, yaitu dengan menggunakan pengamatan dan wawancara. Setelah data terkumpul, pengklasifikasian atau kategorisasi dapat dilakukan oleh peneliti. Kategorisasi tersebut sebaiknya ditunjukkan kepada informan, dan kalau mungkin informan boleh ikut mengklasifikasikan sendiri. Justru klasifikasi informan ini yang lebih asli, dibanding peneliti.
5.      Interaksionisme Simbolik   
    Interaksionisme Simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan  atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi manusia banyak menampilkan simbol yang bermakna, dan tugas peneliti adalah menemukan makna tersebut. Prasetia (2007) menyebutkan tiga premis interaksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu :
-      Pertama, manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Sebagai contoh, tentara berseragam, mobil polisi, tukang ojek, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus.
-      Kedua, dasar interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain”. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.
-      Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpre¬tasikan situasi.
     Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (dalam Prasetia, 2007) menambahkan lagi tujuh proposisi yang terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya. Pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala.  Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial.  Ketiga, komunitas manusia merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Keenam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif: Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna. Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu:
1.      Simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks;
2.      Karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek penelitian;
3.      Peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya;
4.      perlu direkam situasi yang melukiskan simbol;
5.      Metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya;
6.      Perlu menangkap makna di balik fenomena;
7.      Ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.
Pemaknaan interaksi simbolik bisa melalui empat proses.
-      Pertama, terjemahan (translation) yang dilakukan dengan cara mengalihkan bahasa ungkapan penduduk asli menjadi tulisan.
-      Kedua, aktivitas penafsiran yang dilakukan sesuai dengan  latar belakang atau konteksnya, sehingga terangkum konsep yang jelas.
-      Ketiga, ekstrapolasi, yang menggunakan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji.
-      Keempat, kegiatan pemaknaan, yang menuntut kemampuan integratif inderawi, daya pikir, dan akal budi peneliti. Pemaknaan sebaiknya tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’. Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya. Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh.
6.      Grounded Theory  
    Grounded theory termasuk ragam. atau model penelitian dasar yang ingin mencari rumusan teori budaya berdasarkan data empirik. Dasar pemikiran model ini adalah simpulan secara induktif yang digunakan untuk sebuah teori. Dalam kaitannya dengan budaya, grounded theory merumuskan teori-teori baru tentang budaya atas dasar data berbentuk kenyataan Teori tersebut akan lebih mengakar pada budaya yang bersangkutan, karena lahir dari kebudayaan tersebut, dan kelak bisa dimanfaatkan ulang untuk kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, Grounded merupakan penelitian dasar yang diarahkan untuk:
a.       Mengembangkan kategori-kategori yang menjelaskan data,
b.       “menjenuhkan” kategori dengan banyak kasus yang menunjukkan relevansinya,
c.       Mengembangkan kategori-kategori ke dalam kerangka analitik yang lebih umum.
     Dilihat dari sisi ini, grounded theory merupakan pengembangan etnografi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian budaya kognitif. Melalui grounded theory, budaya dibiarkan berkembang sejalan dengan zamannya.  Perkembangan justru akan menantang lahirnya teori baru. Dengan kata lain, penelitian budaya melalui grounded theory bukan mengejar pembuktian teori yang telah ada, melainkan menghimpun data untuk menciptakan teori. Jika ada hipotesis, bukan seperti hipotesis positivisme rasionalistik yang menghendaki pembuktian, melainkan lebih mengembangkan hipotesis. Makna boleh berubah dan berkembang berdasarkan data di lapangan.                       Dengan demikian, akan ditemukan teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya, dan sesuai dengan kondisi setempat. Dan karena penemuan teori tersebut didasarkan pada data, bukan dari simpulan deduktif logik, kemungkinan bagi ilmu untuk berkembang secara progresif menjadi besar.   
    Sampel pada penelitian grounded berbeda dengan sampel positivistik statistik. Jika positivistik ingin menguji atau verivikasi teori, sehingga sampel dipilih berdasarkan struktur populasi, grounded theory justru bertujuan untuk menemukan dan atau tepatnya mengembangkan rumusan teori atau mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data. Karena itu, pemilihan sampel pada grounded theory mengarah pada kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama. 
   Data yang digunakan tidak terbatas pada wawancara dan pengamatan, melainkan bisa menggunakan bahan dokumen atau referensi yang relevan. Hal ini dilakukan agar kerja penelitian berlangsung efisien. Dari data tersebut akan dihasilkan sebuah teori substantif dan bukan teori formal (yang jangkauannya lebih luas meliputi sekian subtansi penelitian). Dalam kaitannya dengan budaya, grounded akan menemukan teori substansi (teori yang dibangun dari data berdasarkan wilayah substansi penelitian) budaya tertentu. Kendati demikian, grounded bukan tidak mungkin menghasilkan teori formal, namun proses menuju ke situ cukup pelan-pelan dan cermat. Yakni, manakala teori budaya tadi telah sahih berlaku pada salah satu substansi, kelak akan dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi lain, sampai menghasilkan teori formal.
     Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data lapangan. Grounded theory merupakan usaha penggalian yang mendalam dengan menganalisis data secara sistematis dan intensif (sering kalimat demi kalimat) terhadap catatan lapangan, hasil wawancara, atau dokumen. Dengan perbandingan yang konstan, data yang terkumpul, diberi kode, lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang baik. Peneliti tidak perlu terburu-buru membatasi perhatiannya pada masalah kategori. Mungkin setelah beberapa bulan di lapangan baru menemukan sejumlah kategori yang tepat. Dalam proses pengkategorian, kemungkinan besar lalu muncul kategori baru. Pada pertengahan penelitian, baru dilakukan pemilihan memo dan kode. Kemudian memo-memo yang terpilih diperluas, diringkas, dan difokuskan untuk menutup kesenjangan teori yang telah muncul.
Teknik Analisis Kajian Lintas Budaya 

   Mengingat bahwa kajian lintas budaya merupakan kajian yang dilakukan dengan cara membandingkan berbagai unsur sejumlah kebudayaan maupun ucapan, sikap, tingkah laku berbagai individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda yang terlibat dalam interaksi sehari-hari, maka ’perbandingan’ merupakan teknik analisis utama dalam bidang penelitian ini. Gilliet (2005) menegaskan: ”To understand culture, societies must be compared.” Analisis perbandingan dalam bidang kajian lintas budaya dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu :

-      Pertama, perbandingan regional (regional comparison) yang dilakukan dengan terlebih dahulu mengklasifikasikan kebudayaan-kebudayaan yang dijaring. Setelah itu, ditarik kesimpulan tentang proses bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu berdifusi menjadi sebuah wilayah kultural (cultural region). Teknik analisis ini berupaya melihat bagaimana berbagai kebudayaan saling berhubungan sebagai unit unit kebudayaan yang menyeluruh (whole cultural units).

-      Kedua, analisis holocultural, atau analisis lintas budaya global (worldwide cross-cultural analysis). Teknik ini merupakan pengembangan  analisis yang diprakarsai oleh Tylor dan kemudian oleh Murdock. Levinson (dalam Gillies, 2005) menjelaskan bahwa analisis holocultural “is designed to test or develop a proposition through the statistical analysis of data on a sample of ten or more nonliterate societies from three or more geographical regions of the world”. Dalam pendekatan ini, ciri-ciri kultural diambil dari konteks seluruh kebudayaan dan dibandingkan dengan ciri-ciri kultural yang relevan dalam kebudayaan-kebudayaan yang lebih luas untuk menentukan  pola-pola keteraturan dan perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan kebudayaan yang diteliti.

-      Ketiga, analisis komparatif terkontrol (controlled comparative), yang dilakukan terhadap kajian perbandingan dengan skala yang lebih kecil. Menurut Eggan (dalam Gillies, 2005), kombinasi konsep antropologis tentang etnologi dengan struktur dan fungsi akan memungkinkan peneliti menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik dengan rentang subyek yang lebih luas.

BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
    kajian budaya merupakan studi yang kontekstual, dengan pengertian bahwa pertanyaan apapun yang dicoba dijawab biasanya membutuhkan berbagai pendekatan dan metode yang tersedia.  Di satu penelitian, analisis atas data yang diperoleh dari berbagai teks mungkin sudah memadai. Namun, pada sisi lain belum bisa terpenuhi. Maka pada saat itu penulis mengganti metode penelitian pada kajian  lintas budaya yang akan digunakan.

Daftar Pustaka
Pardede, Parlindungan. 2012 “penelitian lintas budaya” diunduh pada tanggal 11 maret 2012 dari http://parlindunganpardede.wordpress.com/class-assignment/research/articles

Gillies, Judith L. 2005. “Cross-Cultural Analysis”. Diunduh pada tanggal 11 maret 2012 dari “http://jgillies@tenhoor.as.ua.edu

Prasetia, Teguh Iman.2007.”Interaksi Simbolik dan Cross-Cultural Studies” Diunduh pada tanggal 11 maret 2012 dari http://prasetia/culturalstudies/17.htm