MAKALAH
PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
METODOLOGI PENELITIAN LINTAS BUDAYA
Oleh
kelompok X
Anggota
:
Puji
Rahayu
Arham
S
Goibah
Nirsani R
A.Zulfiana
A.Yuni
Farida Anwar
Fachrunnisa
Aidil
Mabruri
Muh.
Trisyawal
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt, karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya lah yang diberikan, berupa nikmat kehidupan,
kesehatan, kesempatan sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu.
Tugas yang diberikan yaitu mengenai Metodologi Penelitian
Lintas Budaya. Dalam makalah ini, kami memaparkan beberapa hal penting yang
terkait dengan metode penelitian lintas budaya. Metodologi penelitian sangat
perlu diperhatikan agar sesuai dengan standar ilmiah dalam hal validitas dan
reliabilitas. Kami harap materi yang kami paparkan dalam makalah ini dapat
berguna dan sesuai dengan yang diinginkan oleh dosen.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kami memohon maaf bila terdapat kesalahan dalam pemaparan
materi yang kami lakukan. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih banyak.
Makassar, 11 Maret
2012
Penyusun
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Peningkatan hubungan
antar pribadi, antar kelompok, maupun antar bangsa yang dipicu oleh kemajuan
teknologi transportasi dan komunikasi sejak ratusan tahun lalu membuat
kebutuhan untuk memahami kebudayaan orang atau komunitas lain yang mereka temui
dengan tujuan mencegah kesalahpahaman dan konflik meningkat. Para pedagang,
diplomat, tentara, maupun mahasiswa yang harus berinteraksi, bertugas, atau
tinggal bersama komunitas dengan budaya yang asing karena tuntutan pekerjaan
maupun studi mereka sering menemukan masalah-masalah yang timbul karena
perbedaan budaya.
Istilah
“cross-cultural studies” muncul dalam
ilmu-ilmu sosial pada tahun 1930-an yang terinspirasi oleh cross-cultural survey yang dilakukan oleh George Peter Murdock,
seorang antropolog dari Universitas Yale. Istilah ini pada mulanya merujuk pada
kajian-kajian komparatif yang didasarkan pada kompilasi data-data kultural.
Namun istilah itu perlahan-lahan memperoleh perluasan makna menjadi hubungan
interaktif antar individu dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda
(Wikipedia, 2008).
-
Dalam konteks pengertian pertama, penelitian lintas budaya
merupakan kajian dalam berbagai bidang ilmu yang dilakukan dengan cara
membandingkan berbagai unsur beberapa kebudayaan. Kajian perbandingan di bidang
politik, ekonomi, komunikasi, sosiologi, teori media, antropologi budaya,
filsafat, sastra, linguistik dan musik (ethnomusicology) merupakan beberapa
bentuk kajian dalam konteks ini.
-
Dalam konteks pengertian kedua, penelitian lintas budaya
diarahkan pada kajian tentang berbagai bentuk interaksi antara individu-individu
dari berbagai kelompok budaya yang berbeda. Kajian lintas budaya dalam
perspektif ini mengambil interaksi manusia sehari-hari sebagai bagian dari
budaya yang perlu dicermati karena, sebagaimana halnya dengan pemahaman
antropologis yang memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of
life).
Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan
yang perlu diteliti seharusnya tidak hanya yang ‘spektakuler’saja. Hal-hal yang
biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat, maupun dialami dalam
interaksi sehari-hari oleh dua atau lebih individu dengan latarbelakang
kebudayaan berbeda merupakan wilayah amatan cross-cultural studies. Kajian
lintas budaya kontemporer cenderung termasuk ke dalam “cross-cultural studies”
dengan makna kedua di atas.
Penggunaan kata majemuk ‘studies’ dalam
penamaan crosscultural studies menyiratkan sikap dan ‘positioning’ para
penggagas yang tidak puas terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang
terkotak-kotak dan saling mengklaim kebenaran. Padahal lambat laun disadari
bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan secara
sendiri-sendiri bersifat parsial dan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan
di kalangan masyarakat secara komprehensif.
Adapun dengan
penjelasan di atas, maka pada makalah ini akan di bahas, yaitu:
-
Sejarah singkat kajian lintas budaya sehingga memberikan gagasan
beberapa ahli untuk membuat suatu metode penelitian yang berkaitan dengan
kajian lintas budaya
-
Menjelaskan beberapa metode dalam kajian lintas budaya.
B.
Tujuan penulisan
1.
Mendeskripsikan sejarah singkat kajian lintas budaya.
2.
Mendeskripsikan beberapa metode dalam kajian lintas budaya.
BAB II
PERMASALAHAN
A.
Rumusan masalah
Berdasarkan pernyataan yang telah
dibahas pada latar belakang, maka masalah yang akan di uraikan pada makalah ini
adalah:
1.
Bagaimana sejarah singkat kajian lintas budaya sehingga
memberikan gagasan beberapa ahli untuk membuat suatu metode penelitian?
2.
Bagaimana metode dalam kajian lintas budaya?
B.
Tinjauan masalah
Tinjauan masalah dari
makalah tersebut adalah:
1.
Menjelaskan sejarah singkat kajian lintas budaya sehingga
memberikan gagasan beberapa ahli untuk membuat suatu metode penelitian.
2.
Menjelaskan metode dalam kajian lintas budaya.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Kajian Lintas Budaya
Menurut Wikipedia (2008c), kajian lintas
budaya pertama kali dilakukan oleh Abū Rayhān Bīrūnī yang menulis kajian-kajian
antropologis bandingan di bidang agama, kemasyarakatan, dan kebudayaan di Timur
Tengah, Mediterania, dan khususnya di India. Dia menyajikan temuan-temuannya
secara objektif dan netral dengan menggunakan metode perbandingan kebudayaan. Kajian lintas budaya yang
ekstensif kemudian dilakukan pada akhir abad ke-19 oleh beberapa antropologis,
seperti Tylor dan Morgan. Mereka memanfaatkan data-data tentang berbagai
kebudayaan yang dihimpun oleh banyak pihak dari berbagai penjuru dunia, seperti
missioner, petualang, atau pegawai-pegawai colonial (Wikipedia, 2008).
bahan-bahan itu kemudian diorganisasikan dan dibandingkan untuk memahami
ciri-ciri masyarakat manusia. Kajian lintas
budaya modern diawali oleh George Peter Murdock (1897-1985) yang terkenal
dengan kajian perbandingan system-sistem dan analisis kajian lintas budaya
tentang keteraturan danperbedaan-perbedaan yang terdapat diantara masyarakat
yang berbeda. Dia mempelopori penggunaan pendekatan empiris terhadap
antropologi melalui kompilasi data berbagai kebudayaan mandiri dan pengujian hipotesis
dengan menggunakan uji statistik yang sesuai. Murdok memandang dirinya lebih sebagai
ilmuwan sosial yang tetap menjalin kemitraan dengan para peneliti di bidang
ilmu lainnya daripada antropolog.
B.
Metodologi Kajian Lintas Budaya
Seperti telah
disinggung sebelumnya, kajian lintas budaya mengambil interaksi sehari-hari
manusia dengan latarbelakang kebudayaan berbeda sebagai bagian dari budaya yang
perlu dicermati. Kajian lintas budaya dilandaskan pada asumsi dasar bahwa
kontak, persinggungan atau pergesekan antar budaya yang memicu proses
inkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya akan mengubah budaya asli.
Melalui analisis bandingan terhadap berbagai unsur yang terlibat dalam kontak
antar individu dengan kebudayaan berbeda diharapkan dapat menghasilkan:
1.
Generalisasi induk
dan orisinalitas budaya, seperti tujuan penelitian Tylor dan antropolog
lainnya.
2.
Pemahaman tentang
proses evolusi dan difusi budaya, yang menjadi fokus utama kajian lintas budaya
kontemporer.
Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan pertama di
atas dilandasi pada paham positivistik dan biasanya membutuhkan sampel yang
cukup besar. Dengan menggunakan metode etnografis, data dijaring tidak hanya
dari satu wilayah tetapi juga dari luar wilayah budaya yang bersangkutan.
Kajian seperti inilah yang dilakukan Murdock (Wikipedia, 2008) ketika dia
mencoba mencari korelasi budaya hubungan kekerabatan patrilineal dan
matrilineal. Dia mencari seberapa jauh korelasi antar variabel, seperti mata
pencaharian, kemampuan membuat tembikar, menenun, keahlian sebagai tukang, dan
stratifikasi sosial. Selanjutnya, dia mengkaji masalah “rasa tak sehat”, bahwa
dalam kebudayaan di dunia ternyata “rasa tak sehat” berbeda dengan “rasa
sakit”. Dari hasil-hasil analisis data, biasanya diperoleh kesimpulan tentang
adanya “culture area”, atau sebuah golongan budaya berdasarkan wilayah
geografisnya. Sebagai contoh, menurut Endraswara (dalam Prasetia, 2007),
Wissler sempat membagi kebudayaan suku bangsa Indian menjadi sembilan culture
area. Gagasan serupa tampaknya juga telah mempengaruhi peneliti budaya di
Indonesia, sehingga ada etnografi Batak, etnografi Bugis, etnografi Jawa, etnografi
Sunda, dan sebagainya.
Kajian yang
diarahkan untuk mencapai tujuan kedua di atas menggunakan studi komparatif
dalam rangka merekonstruksi kemiripan budaya, proses evolusi, serta transformasi
budaya masa kini. Rekonstruksi akan menggambarkan aspek historis dan homogenitas.
Tujuan yang dikejar adalah mencari kesamaan-kesamaan budaya pada masing-masing
daerah. Untuk mencapai tujuan itu, perbandingan diarahkan pada tiga hal pokok:
1.
Persepsi, yaitu
bagaimana tanggapan pelaku budaya satu dengan yang lain ketika menerima dan atau
menolak budaya yang hadir.
2.
Kognisi, yaitu membandingkan pola pemikiran
pendukung budaya masing-masing.
3.
kepribadian dan jati
diri, yaitu memban-dingkan kepribadian dan jatidi pemilik budaya masing-masing.
Dari berbagai hal yang dibandingkan ini, peneliti akan
mencari korelasi atau hubungan kemiripan. Hubungan tersebut akan membentuk varian-varian
budaya satu sama lain, sehingga dapat ditentukan mana budaya transformasi dan
mana budaya yang asli (Endraswara dalam Prasetia, 2007). Mengingat luasnya
ruang lingkup dan banyaknya unsur maupun disiplin ilmu yang terlibat dalam
kajian lintas budaya, metode penelitian yang ’fixed’ untuk digunakan dalam
bidang ini tidak dapat ditentukan. Home/FAQ (2006) menegaskan: “There is no such thing as “the cultural
studies method,” and there is no single or simple answer to the question of how
to do cultural studies. Hal ini diakibatkan oleh kenyataan, bahwa kajian
budaya merupakan studi yang kontekstual, dengan pengertian bahwa pertanyaan
apapun yang dicoba dijawab biasanya membutuhkan berbagai pendekatan dan metode
yang tersedia. Di satu penelitian, analisis atas data yang diperoleh dari
berbagai teks mungkin sudah memadai. Pada penelitian lain, metode etnografi
yang utuh mungkin dibutuhkan. sedangkan penelitian yang lain lagi membutuhkan
metode perpaduan beberapa metode. Sehubungan dengan hal ini, yang dibahas dalam
makalah ini dibatasi hanya pada metode-metode penelitian lintas budaya yang
paling lazim digunakan, yaitu:
-
Etnografi
-
Folklore
-
Etnometodologi
-
Etnosains interaksi
simbolik
-
grounded theory.
Secara umum materi
penjelasan tersebut diadaptasi dari Prasetia (2007).
1. Etnografi
Etnografi adalah penelitian yang
dilakukan untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Model ini
berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek
sebagai obyek studi. Studi ini terkait dengan bagaimana subyek berpikir, hidup,
dan berperilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa unik yang jarang teramati
oleh kebanyakan orang. Penelitian etnografi merupakan kegiatan pengumpulan data
yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas
sosial, peristiwa dan kejadian unik dan berbagai benda kebudayaan dari suatu
masyarakat. Penelitian etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, konstruktif,
transferabilitas, dan subyektif. Selain itu, etnografi juga lebih menekankan
teknik idiografik yang dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan budaya dan
tradisi yang ada.
Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan berperan serta (partisipant
observation). Sehubungan dengan itu, peneliti justru lebih banyak belajar dari
pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya.
Hal ini sejalan dengan pengertian istilah etnografi berasal dari kata ’ethno’ (bangsa) dan ‘graphy’ (menguraikan atau menggambarkan)
yaitu ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang
berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan
sehari-hari. Etnografi pada hakikatnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu
secara holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Uraian
tersebut kemudian akan mengungkapkan pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk setempat. Selain analisis data yang dilakukan secara holistic bukan
parsial, ciri-ciri lainnya dari penelitian etnografi adalah:
a.
Sumber data bersifat
ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan) dalam
kehidupan sehari-hari;
b.
Peneliti sendiri
merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data;
c.
Bersifat pemerian
(deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat,
dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian mengkombinasikan,
mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan;
d.
Digunakan untuk
memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus;
e.
Analisis bersifat
induktif;
f.
Di lapangan,
peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang ditelitinya;
g.
Data dan informan
harus berasal dari tangan pertama;
h.
Kebenaran data harus
dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek dengan data tulis);
i.
Orang yang dijadikan
subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan juga), konsultan,
serta teman sejawat;
j.
Titik berat
perhatian harus pada pandangan emik, artinya, peneliti harus menaruh perhatian
pada masalah penting yang diteliti dari orang yang diteliti, dan bukan dari
etik;
k.
Dalam pengumpulan
data menggunakan purposive sampling dan bukan probabilitas statistik. Dapat
menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif, namun sebagian besar
menggunakan kualitatif.
Berdasarkan
ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupakan model penelitian budaya
yang khas. Etnografi memandang budaya bukan semata-mata sebagai produk, melainkan
proses. Harris (dalam Prasetia, 2007) menegaskan bahwa kebudayaan akan menyangkut
nilai, motif, peranan moral etik, dan maknanya sebagai sebuah sistem sosial. Kebudayaan
tidak hanya cabang nilai, melainkan merupakan keseluruhan institusi hidup manusia
dan sekaligus merupakan hasil belajar manusia termasuk di dalamnya tingkah
laku. Oleh sebab itu, etnografi memberi perhatian pada hakikat kebudayaan sebagai
pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman
dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap
seluruh tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.
Penentuan
sampel pada penelitian kualitatif model etnografik, ada lima jenis yaitu:
1.
Seleksi sederhana,
artinya seleksi hanya menggunakan satu kriteria saja, misalkan kriteria umur
atau wilayah subyek.
2.
Seleksi komprehensif,
artinya seleksi bedasarkan kasus, tahap, dan unsur yang relevan.
3.
Seleksi quota,
seleksi apabila populasi besar jumlahnya, untuk itu populasi dijadikan beberapa
kelompok misalnya menurut pekerjaan dan jenis kelamin.
4.
Seleksi menggunakan jaringan, seleksi menggunakan informasi dari salah satu warga
pemilik budaya.
5.
Seleksi dengan perbandingan antar kasus,
dilakukan dengan membandingkan kasus-kasus yang ada, sehingga diperoleh
ciri-ciri tertentu, misalnya yang teladan, dan memiliki pengalaman khas.
Dari lima cara tersebut, peneliti budaya model
etnografi dapat memilih salah satu yang paling relevan dengan fenomena yang
dihadapi. Meskipun demikian, seleksi secara komprehensif dipandang lebih akurat
dibanding empat kriteria seleksi yang lain. Melalui seleksi secara
komprehensif, peneliti akan mampu menentukan langkah yang tepat sejalan dengan
apa yang diteliti. Yang lebih penting lagi, jika harus mengambil sampel,
sebaiknya dilakukan secara pragmatik dan bukan secara acak. Peneliti perlu
mengetahui konteks masyarakat yang diteliti, tanpa membawa pra konsep atau pra duga
atau teori yang dimilikinya.
2.
Kajian Folklore
Istilah folklor
berasal dari kata folk, yang berarti ’kolektif’, dan lore, yang berarti ’tradisi’.
Jadi, folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat. Menurut Dundes (dalam
Prasetia, 2007), folk adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik,
sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok yang lainnya.
Ciri fisik, antara lain berwujud warna kulit. Ciri lain yang tidak kalah pentingnya
adalah mereka memiliki tradisi tertentu yang telah turun-temurun. Tradisi
inilah yang sering dinamakan lore. Tradisi semacam ini yang dikenal dengan budaya
lisan atau tradisi lisan. Tradisi tersebut telah turun-temurun, sehingga menjadi
sebuah adat yang memiliki legitimitasi tertentu bagi pendukungnya. Folklor adalah
milik kolektif kebudayaan.
Dalam kaitannya dengan budaya,
folklor memiliki beragam bentuk. Pakar yang berbeda memberikan ragam yang
berbeda (Prasetia, 2007). Menurut Bascom, misalnya, folklore terdiri dari
budaya material, organisasi politik, dan religi. Menurut Balys, folklor
terdiri dari kepercayaan rakyat, ilmu rakyat, puisi rakyat, dll. Menurut
Espinosa folklor terdiri dari:kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos,
magic, ilmu gaib dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut sebenarnya banyak menarik
peneliti budaya melalui kajian folklor.
Sebagai patokan
tentang apakah unsur-unsur itu merupakan obyek kajian folklor atau bukan,
Dananjaya (dalam Prasetia, 2007) mengusulkan sembilan kriteria berikut.
-
Pertama, penyebaran
dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke
mulut, dan kadang-kadang tanpa disadari.
-
Kedua, bersifat tradisional,
artinya disebarkan dalam waktu relatif lama dan dalam bentuk standar.
-
Ketiga, folklor ada
dalam berbagai versi-versi atau varian.
-
Keempat, folklore bersifat
anonim, penciptanya tidak diketahui secara pasti.
-
Kelima, folklor
biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
-
Keenam, mempunyai
kegunaan dalam kehidupan kolektif.
-
Ketujuh, bersifat
pralogis, yaitu memiliki logika sendiri yang tidak tentu sesuai dengan logika
umum.
-
Kedelapan, merupakan
milik bersama suatu masyarakat. Kesembilan, bersifat polos dan lugu
Tahap-tahap penelitian folklor, sebenarnya cukup simpel,
yaitu:
-
Pengumpulan data, pengklasifikasian,
dan penganalisisan. Tahap - tahap ini, tentu didahului para penelitian yang bermacam-macam,
antara lain perlu persiapan matang dan mampu menjalin kerjasama yang baik dengan
pemiliki folklor. Dengan cara terjun langsung ke kancah folklor, peneliti akan
mengambil data asli dan bukan sekunder. Tentu saja, sulit tidaknya data digali
dan memakan biaya banyak atau sedikit perlu dipertimbangkan masak-masak. Lebih
penting lagi, peneliti folklor perlu membangun jalinan yang akrab dengan subyek
penelitian. Jika tidak, kemungkinan besar folklor yang berhubungan dengan
kepercayaan rahasia akan sulit terungkap. Padahal, folklor demikian justru
ditunggu oleh pembaca. Hal ini berarti hubungan antara peneliti dan subjek
penelitian sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian. Jika
hubungan terkesan kaku dan ada unsur kecurigaan, berarti ada tanda-tanda bahwa
penelitian kurang berhasil.
3. Etnometodologi
Etnometodologi adalah metode kajian
modern yang banyak diterapkan pada ilmu sosial. Namun, dalam kajian budaya
metode ini sering digunakan. Etnometodologi dipelopori oleh Harold Garfinkel
(Muhadjir, 2000:129). Model penelitian ini merupakan cara pandang kajian sosial
budaya masyarakat sebagaimana adanya. Jadi, dasar filosofi metode penelitian
ini adalah fenomenologi, yang memandang “pengertian dan penjelasan dari suatu
realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Etnometodologi
menitikberatkan bagaimana pendukung budaya memandang, menjelaskan, dan
menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Penelitian diarahkan untuk mengungkap
bagaimana seorang individu maupun kelompok memahami kehidupannya. Subjek
penelitian tak harus masyarakat terasing, melainkan masyarakat yang ada di
sekitar kita. Bagaimana orang atau suatu kelompok memandang budayanya,
menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Dengan kata
lain, etnometodologi lebih banyak untuk mengungkap budaya dalam konteks
interaksi sosial. Dalam hal ini, bahasa sebagai medium interaksi pun perlu
diperhatikan sungguh-sungguh. Tiap-tiap pemilik budaya biasanya memiliki bahasa
khas sebagai medium interaksi sosial. Sehubungan dengan itu, realita menjadi suatu
hal yang sangat penting bagi model ini. Etnometodologi termasuk kajian yang berlandaskanpada
postpositivistik. Paradigma yang dibangun oleh paham ini senada dengan
etnosains yang berusaha mendeskripsikan budaya, tradisi, keyakinan, masyarakat
itu sendiri. Kesadaran pemilik budaya tentang miliknya menjadi pangkal tolak
etnosains.
4. Etnosains
Etnosains adalah salah satu teori
penelitian budaya yang relatif baru. Kata etnosains berasal dari kata Yunani
ethnos yang berarti ’bangsa’, dan Latin scientia artinya ’ilmu’. Jadi, secara
etimologis etnosains berarti ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh suatu
komunitas budaya, sedangkan dalam konteks kajian lintasbudaya, etnosains
merupakan ilmu yang mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe
kognitif budaya tertentu. Tekanannya adalah pada pengetahuan asli dan khas
suatu komunitas budaya.
Menurut Haviland (dalam Prasetia,
2007), etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami
bagaimana pribumi memahami alam mereka. Pribumi biasanya memiliki ideologi dan
falsafah hidup yang mempengaruhi mereka mempertahankan hidup. Ditinjau dari
pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk
etnografi baru (the new ethnography). Melalui etnosains, sebenarnya peneliti budaya
di luar Barat justru akan mampu membangun teori yang grass root dan tidak harus
mengadopsi teori budaya Barat yang belum tentu relevan.
Penelitian etnosains terhadap
fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau folk. Pangkal kajian selalu berpusat
pada pemilik budaya. Dengan demikian, budaya tidak lagi dipandang dari aspek
peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris pemilik. Budaya diangkat
berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur tangan peneliti yang
berarti. Peneliti tidak bermaksud menilai atau mengeklaim apakah pandangan
mereka benar atau keliru, tepat atau tidak tepat, dan seterusnya. Tugas
peneliti lebih mengarah pada upaya menjelaskan kepada publik tentang
pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertugas mensistematiskan pandangan mereka
ke dalam bentuk laporan hasil penelitian. Kehadiran etnosains, menurut Putra
(dalam Prasetia, 2007), memang akan memberi angin segar pada penelitian budaya.
Meskipun hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya telah mengenal
verstehen (pemahaman), namun tetap memberi wajah baru bagi penelitian budaya.
Oleh karena, memang banyak peneliti budaya yang secara sistematis memanfaatkan
kajian etnosains. Pengumpulan data dalam etnisains tidak berbeda dengan
penelitian etnografi, yaitu dengan menggunakan pengamatan dan wawancara.
Setelah data terkumpul, pengklasifikasian atau kategorisasi dapat dilakukan
oleh peneliti. Kategorisasi tersebut sebaiknya ditunjukkan kepada informan, dan
kalau mungkin informan boleh ikut mengklasifikasikan sendiri. Justru klasifikasi
informan ini yang lebih asli, dibanding peneliti.
5.
Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme
Simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap
realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah
fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga
memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma
penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya,
jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang
telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu
bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun
selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya. Perspektif interaksi simbolik berusaha
memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi.
Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah
komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga
setempat. Pada saat berkomunikasi manusia banyak menampilkan simbol yang
bermakna, dan tugas peneliti adalah menemukan makna tersebut. Prasetia (2007)
menyebutkan tiga premis interaksionisme simbolik yang perlu dipahami peneliti
budaya, yaitu :
-
Pertama, manusia
melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu
kepada mereka. Sebagai contoh, tentara berseragam, mobil polisi, tukang ojek,
tipe orang, dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna
khusus.
-
Kedua, dasar
interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau
muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain”. Kebudayaan sebagai
suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki,
dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.
-
Ketiga, dari
interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu
proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal
yang dia hadapi. Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk
menginterpre¬tasikan situasi.
Di samping
tiga premis tersebut, Muhadjir (dalam Prasetia, 2007) menambahkan lagi tujuh
proposisi yang terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya. Pertama, perilaku
manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala. Kedua, pemaknaan kemanusiaan
perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial. Ketiga, komunitas
manusia merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier,
dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi,
yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima,
konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Keenam, perilaku manusia itu
wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif: Ketujuh, perlu
menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk
menangkap makna. Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh
prinsip interaksionisme simbolik, yaitu:
1.
Simbol dan interaksi
menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta,
melainkan harus sampai pada konteks;
2.
Karena simbol juga
bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subyek
penelitian;
3.
Peneliti sekaligus
mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya;
4.
perlu direkam situasi
yang melukiskan simbol;
5.
Metode perlu
merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya;
6.
Perlu menangkap
makna di balik fenomena;
7.
Ketika memasuki
lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik.
Pemaknaan interaksi simbolik bisa melalui empat proses.
-
Pertama, terjemahan
(translation) yang dilakukan dengan cara mengalihkan bahasa ungkapan penduduk
asli menjadi tulisan.
-
Kedua, aktivitas
penafsiran yang dilakukan sesuai dengan latar belakang atau konteksnya,
sehingga terangkum konsep yang jelas.
-
Ketiga,
ekstrapolasi, yang menggunakan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di
balik yang tersaji.
-
Keempat, kegiatan
pemaknaan, yang menuntut kemampuan integratif inderawi, daya pikir, dan akal
budi peneliti. Pemaknaan sebaiknya tidak mengandalkan pandangan “subjektif
murni” dari pemilik budaya, melainkan menggunakan wawasan “intersubjektif’.
Artinya, peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui
interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti
bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang.
Pancingan-pancingan pertanyaan peneliti yang menggelitik, akan memunculkan
makna dalam sebuah interaksi antar pelaku budaya. Penafsiran bukanlah tindakan
bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi. Melalui
interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh.
6.
Grounded Theory
Grounded theory
termasuk ragam. atau model penelitian dasar yang ingin mencari rumusan teori
budaya berdasarkan data empirik. Dasar pemikiran model ini adalah simpulan
secara induktif yang digunakan untuk sebuah teori. Dalam kaitannya dengan
budaya, grounded theory merumuskan teori-teori baru tentang budaya atas dasar
data berbentuk kenyataan Teori tersebut akan lebih mengakar pada budaya yang
bersangkutan, karena lahir dari kebudayaan tersebut, dan kelak bisa
dimanfaatkan ulang untuk kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, Grounded merupakan penelitian dasar yang
diarahkan untuk:
a.
Mengembangkan
kategori-kategori yang menjelaskan data,
b.
“menjenuhkan” kategori dengan banyak kasus
yang menunjukkan relevansinya,
c.
Mengembangkan
kategori-kategori ke dalam kerangka analitik yang lebih umum.
Dilihat dari sisi ini, grounded theory merupakan pengembangan etnografi yang tidak jauh
berbeda dengan penelitian budaya kognitif. Melalui grounded theory, budaya dibiarkan berkembang sejalan dengan
zamannya. Perkembangan justru akan menantang lahirnya teori baru. Dengan
kata lain, penelitian budaya melalui grounded theory bukan mengejar pembuktian
teori yang telah ada, melainkan menghimpun data untuk menciptakan teori. Jika
ada hipotesis, bukan seperti hipotesis positivisme rasionalistik yang menghendaki
pembuktian, melainkan lebih mengembangkan hipotesis. Makna boleh berubah dan
berkembang berdasarkan data di lapangan. Dengan demikian, akan
ditemukan teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya, dan sesuai
dengan kondisi setempat. Dan karena penemuan teori tersebut didasarkan pada data,
bukan dari simpulan deduktif logik, kemungkinan bagi ilmu untuk berkembang secara
progresif menjadi besar.
Sampel pada
penelitian grounded berbeda dengan sampel positivistik statistik. Jika
positivistik ingin menguji atau verivikasi teori, sehingga sampel dipilih
berdasarkan struktur populasi, grounded
theory justru bertujuan untuk menemukan dan atau tepatnya mengembangkan
rumusan teori atau mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan
data-data. Karena itu, pemilihan sampel pada grounded theory mengarah pada
kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama.
Data yang
digunakan tidak terbatas pada wawancara dan pengamatan, melainkan bisa
menggunakan bahan dokumen atau referensi yang relevan. Hal ini dilakukan agar
kerja penelitian berlangsung efisien. Dari data tersebut akan dihasilkan sebuah
teori substantif dan bukan teori formal (yang jangkauannya lebih luas meliputi
sekian subtansi penelitian). Dalam kaitannya dengan budaya, grounded akan
menemukan teori substansi (teori yang dibangun dari data berdasarkan wilayah
substansi penelitian) budaya tertentu. Kendati demikian, grounded bukan tidak mungkin menghasilkan teori formal, namun
proses menuju ke situ cukup pelan-pelan dan cermat. Yakni, manakala teori
budaya tadi telah sahih berlaku pada salah satu substansi, kelak akan
dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi lain, sampai
menghasilkan teori formal.
Basis grounded
theory adalah analisis kualitatif data lapangan. Grounded theory merupakan
usaha penggalian yang mendalam dengan menganalisis data secara sistematis dan
intensif (sering kalimat demi kalimat) terhadap catatan lapangan, hasil
wawancara, atau dokumen. Dengan perbandingan yang konstan, data yang terkumpul,
diberi kode, lalu dianalisis sehingga menghasilkan teori yang baik. Peneliti
tidak perlu terburu-buru membatasi perhatiannya pada masalah kategori. Mungkin
setelah beberapa bulan di lapangan baru menemukan sejumlah kategori yang tepat.
Dalam proses pengkategorian, kemungkinan besar lalu muncul kategori baru. Pada
pertengahan penelitian, baru dilakukan pemilihan memo dan kode. Kemudian
memo-memo yang terpilih diperluas, diringkas, dan difokuskan untuk menutup
kesenjangan teori yang telah muncul.
Teknik Analisis Kajian Lintas
Budaya
Mengingat bahwa kajian lintas budaya
merupakan kajian yang dilakukan dengan cara membandingkan berbagai unsur
sejumlah kebudayaan maupun ucapan, sikap, tingkah laku berbagai individu dengan
latarbelakang kebudayaan berbeda yang terlibat dalam interaksi sehari-hari,
maka ’perbandingan’ merupakan teknik analisis utama dalam bidang penelitian ini.
Gilliet (2005) menegaskan: ”To understand
culture, societies must be compared.” Analisis perbandingan dalam bidang
kajian lintas budaya dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu :
- Pertama, perbandingan regional (regional comparison) yang
dilakukan dengan terlebih dahulu mengklasifikasikan kebudayaan-kebudayaan yang
dijaring. Setelah itu, ditarik kesimpulan tentang proses bagaimana
kebudayaan-kebudayaan itu berdifusi menjadi sebuah wilayah kultural (cultural
region). Teknik analisis ini berupaya melihat bagaimana berbagai kebudayaan saling
berhubungan sebagai unit unit kebudayaan yang menyeluruh (whole cultural
units).
- Kedua, analisis holocultural,
atau analisis lintas budaya global (worldwide cross-cultural analysis). Teknik
ini merupakan pengembangan analisis yang diprakarsai oleh Tylor dan kemudian oleh Murdock. Levinson (dalam Gillies, 2005) menjelaskan bahwa analisis
holocultural “is designed to test or
develop a proposition through the statistical analysis of data on a sample of
ten or more nonliterate societies from three or more geographical regions of
the world”. Dalam pendekatan ini, ciri-ciri kultural diambil dari konteks
seluruh kebudayaan dan dibandingkan dengan ciri-ciri kultural yang relevan
dalam kebudayaan-kebudayaan yang lebih luas untuk menentukan pola-pola
keteraturan dan perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan kebudayaan yang diteliti.
- Ketiga, analisis komparatif terkontrol (controlled
comparative), yang dilakukan terhadap kajian perbandingan dengan skala yang
lebih kecil. Menurut Eggan (dalam Gillies, 2005), kombinasi konsep antropologis
tentang etnologi dengan struktur dan fungsi akan memungkinkan peneliti menggali
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik dengan rentang subyek
yang lebih luas.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
kajian
budaya merupakan studi yang kontekstual, dengan pengertian bahwa pertanyaan
apapun yang dicoba dijawab biasanya membutuhkan berbagai pendekatan dan metode
yang tersedia. Di satu penelitian, analisis atas data yang diperoleh dari
berbagai teks mungkin sudah memadai. Namun, pada sisi lain belum bisa
terpenuhi. Maka pada saat itu penulis mengganti metode penelitian pada kajian lintas budaya yang akan digunakan.
Daftar Pustaka
Gillies, Judith L. 2005. “Cross-Cultural
Analysis”. Diunduh pada tanggal 11 maret 2012 dari
“http://jgillies@tenhoor.as.ua.edu
Prasetia, Teguh Iman.2007.”Interaksi
Simbolik dan Cross-Cultural Studies” Diunduh pada tanggal 11 maret 2012 dari
http://prasetia/culturalstudies/17.htm